Kedokteran
nuklir adalah bidang kedokteran yang memanfaatkan materi radioaktif
untuk menegakkan diagnosis, terapi penyakit serta penelitian. Secara
lengkap Definisi Kedokteran Nuklir menurut WHO adalah ilmu kedokteran
yang dalam kegiatannya menggunakan sumber radiasi terbuka (“unsealed’)
baik untuk tujuan diagnosa, maupun untuk pengobatan penyakit (terapi),
atau dalam penelitian kedokteran.
Kedokteran
Nuklir mencakup pemasukan radioisotop ke dalam tubuh pasien (studi
in-vivo) dan dapat pula dengan mereaksikannya dengan bahan biologis
seperti darah, cairan lambung, urine, dan sebagainya, yang berasal dari
tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro (dalam tabung
percobaan).
Secara umum bidang kedokteran nuklir dapat digolongkan dalam 4 jenis kegiatan yaitu :
1. Pemeriksaan radioaktivitas secara eksternal in vivo setelah pemberian
radionuklida secara internal. Pada studi in-vivo, setelah radioisotop
dapat dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau dihirup
lewat hidung, maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat
berupa:
- Citra atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan
peralatan kamera gamma ataupun kamera positron (teknik imaging).
- Grafik atau skala yang menunjukkan akumulasi maupun intensitas radioisotop
- Sampel dari tubuh pasien yang mengandung radioisotope seperti darah atau urine,
untuk dicacah (teknik non-imaging).
2. Pengukuran radioaktivitas secara in vitro dalam eluat hasil ekskresi
setelah pemberian radionuklida seperti : studi absorpsi vitamin, studi
kandungan air dalam tubuh secar total (total body water), studi
metabolisme dan aplikasi bidang hematologi,
3. Pemeriksaan in vitro
4. Terapi dengan radioisotop, misalnya pemberian iodium aktif untuk penyembuhan panyakit kaker tiroid.
SEJARAH
Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran dimulai tahun 1901
oleh Henri Danlos yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit TBC
kulit. Namun yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C De
Havessy yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan zat
radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah radioisotop alam Pb212. Dengan
ditemukannya radioisotop buatan, maka radioisotop alam tidak lagi digunakan.
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan
kedokteran nuklir adalah I-131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh
Tc99m, selain karena
sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat
diperoleh dengan mudah, serta harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih
sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid.
RADIOFARMAKA
Radiofarmaka merupakan sediaan farmasi dalam bentuk senyawa kimia yang
mengandung radioisotop yang diberikan pada kegiatan kedokteran nuklir.
Sediaan radiofarmaka pada umumnya terdiri dari 2 komponen yaitu
radioisotop dan bahan pembawa menuju ke organ target. Pancaran radiasi
dari radioisotop pada organ target itulah yang akan dicacah oleh
detector (gamma kamera) untuk direkostruksi menjadi citra ataupun grafik
intensitas radiasi..
Syarat senyawa radioaktif untuk tujuan diagnosa adalah 1) murni satu
nuklida saja, 2) murni secara radiokimia, 3) Pemancar sinar-gamma energi
tunggal yang besarnya berkisar antara 100-400 KeV , 4) stabil dalam
bentuk senyawa , 5) Waktu paruh biologis pendek. Beberapa contoh sediaan
radiofarmaka antara lain : Brom Sufatein I-131 (BSP), Hipuran I-131,
Radio Iodinated Human Serum Albumin (RIHSA), Rose Bengal I-131, Tc-99m
dalam bentuk senyawa Natrium Perteknetat, Thalium -201, Galium-68.
Beberapa contoh radiofarmaka untuk terapi : I-131, Bi-212, Y-90, Cu-67,
Pd-109. Radiofarmaka yang banyak dipakai untuk keperluan in-vitro test
adalah I-125.
Produksi sediaan radiofarmaka dapat diklasifikasikan menjadi 4 :
1. Radioisotop primer medical yaitu radioisotop dalam bentuk kimia yang
sederhana (biasanya an-organik). Diproduksi dengan cara mengiradiasi
atom sasaran dalam reaktor nuklir atau dalam siklotron.
2. Senyawa bertanda medikal yaitu senyawa yang salh satu atau lebih dari
atom atau gugusnya digantikan dengan atom unsur radioisotop
3. Generator radioisotop ; untuk mendapatkan radioisotop umur pendek
pada lokasi yang jauh dari tempat produksi radioisotop terutama bagi
rumah-sakit yang tidak memiliki fasilitas reaktor nuklir maka
diciptakanlah generator radioisotop. Generator radioisotop adalah suatu
sistem yang terdiri dua macam radioisotop yaitu radioisotop induk induk
dan radioisotop anak yang keduanya membentuk pasangan kesetimbangan
radioaktif. Radioisotop induk memiliki waktu paruh yang lebih panjang
daripada waktu paruh radioisotop anak. Radioisotop anak digunakan untuk
keprluan diagnostik maupun terapi.
4. Kit Radiofarmaka ; adalah sediaan non-radioaktif yang terdiri dari
beberapa senyawa kimia yang akan ditandai dengan radioisotop untuk
menjadi sediaan radiofarmaka. Radioisotop yang paling banyak digunakan
adalah Technitium -99m (Tc-99m) karena punya beberapa kelebihan, yaitu :
- Waktu Paruh pendek (6,03 jam)
- Memancarkan gamma murni dengan energi 140 kev
- Mempunyai tingkat valensi 1 sampai 7 sehingga mudah bereaksi dengan senyawa lain.
- Dapat diperoleh dengan cara elusi generator radioisotop.
Oleh kerena itu sediaan radiofarmaka yang berkembang sampai saat ini adalah
sediaan radiofarmaka Technitium yang disiapkan dalam bentuk kit radiofarmaka,
sedangakan Tc-99m dapat diperoleh dengan elusi generator.
Mekanisme penempatan radiofarmaka dalam tubuh adalah :
1. Active transport : Secara aktif sel-sel organ tubuh, memindahkan
radiofarmaka dari darah ke dalam organ tertentu, selanjutnya mengikuti
proses metabolisme atau dikeluarkan dari tubuh. Contoh : I-131 akan
ditransfer ke sel-sel thyroid untuk pembuatan T3 dan T4, Tc-99m IDA dan
I-131 Rose Bengal oleh sel poligonal hati ditransfer dari darah kemudian
diekskresi ke usus halus, lewat saluran empedu, I-131 Hippuran
diekskresi oleh tubulus sehingga dapat untuk pemeriksaan ginjal.
2. Phogocytosis : Beberapa Radionuklida seperti Tc-99m, In-113m atau
Au-198 jika diikat oleh pembawa materi berbentuk”koloid” maka
radiofarmaka ini akab difagosit oleh RES tubuh. Bila radiofarmaka ini
disuntikkan secara Intra Vena maka dapat memeriksa scanning liver,
limpa, dan sumsum tulang, jika disuntikkan secara subcutan untuk
memeriksa kelenjar getah bening.
3. Cell Sequestration (pengasingan sel) : Sel darah merah yang ditandai
Cr-51 dan dipanaskan 50 derajat celcius selama 1 menit, lalu dimasukkan
ke tubuh penderita secara intravena maka akan diasingkan ke limpa untuk
pemeriksaan scanning limpa.
4. Capillary Blockage (Penghalang Kapiler) : Bila pembawa materi
berbentuk makrokoloid (dengan ukuran 20-30 mikron) dan disuntikkan
secara intravena maka akan menjadi penghalang kapiler di paru-paru.
Contoh ; Tc-99m MAA untuk scanning perfusi hati
5. Simple or Exchanged Diffusion (pertukaran difus) : Radiofarmaka
tersebut akan saling bertukar tempat dengan senyawa yang sama dari organ
tubuh, contoh ; Polifosfat bertanda Tc-99m (Tc-99m MDP) akan bertukar
tempat dengan senyawa polifosfat tulang dan dalam jangka 2-4 jam Tc-99m
MDP akan merata dalam tulang, pemeriksaan untuk mendeteksi lesi otak
denagn RIHSA dan cairan interselluler otak.
6. Compartmental Localization (kompartemental) : Bila radiofarmaka dapat
menggambarkan blood pool karena keberadaannya yang cukup lama dalam
darah maka ikatan ini dapat dipakai untuk scanning jantung dan plasenta
(ventrikulografi dan placentografi). Contoh ; RIHSA untuk pemeriksaan
plasenta, Cr-51 eritrosit, Tc-99m Sn eritrosit untuk ventrikulografi
jantung.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih radiofarmaka uantuk pemeriksaan adalah :
1. Jenis peluruhan radiasi ; Untuk keperluan pemeriksaan eksternal in
vivo, sinar-gamma dengan energi 100-500 kev sangat ideal. Karena radiasi
dengan energi lebih besar 500 kev akan mampu menembus pelindung dan
sekat-sekat pada kolimator sehingga terjadi penurunan spatial
resolution. Juga dengan energi sangat kecil (lebih kecil 20 kev) banyak
penyerapan foton oleh jaringan sebelum mencapai detektor. Dengan
demikian sinar gamma murni tanpa radiasi partikel yang dibutuhkan untuk
diagnostik kedokteran nuklir.
2. Waktu Paruh : meliputi waktu paruh fisik yaitu waktu yang diperlukan
zat radioaktif untuk mencapai kativitas setngah dari aktivitas
mula-mula, waktu paruh biologis yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan setengah radionuklida murni dari suatu organ tubuh serta
waktu paruh efektif yaitu waktu yang diperlukan setengah zat yang telah
dimasukkan ke dalam tubuh.
3. Biological Behaviour : Menyangkut perlakuan organ tubuh terhadap
radiofarmaka tersebut., sehingga penting untuk menentukan paparan
radiasi dari suatu organ atau untuk mendapatkan hasil interpretasi. Juga
dengan menetahui biological behaviuor kita dapat memperkirakan eskresi
suatu radiofarmaka.]
4. Aktifitas tertentu (The specific activity) : Bagian radiofarmaka yang
berperan memberikan foton yang penting untuk pendeteksian. Sebab dalam
suatu materi dapat ditemui bagian yang bersifat non-radioaktif yang
dapat merugikan.
5. Jenis Instrument : Berbagai jenis peralatan kedokteran nuklir sengaja
didesain hanaya untuk radioisotop yang memiliki enrgi tertentu.
Deteksi radioisotop dapat dibagi dalam 5 kategori :
1. Delution, absoption dan excretion sudies : Bila penderita disuntikkan
sejumlah radiofarmaka yang telah diketahui jumlahnya, maka delution
yang terjadi atau prosentase absorsi atau kapan dieskresi dapat
ditentukan melalui sampel darah, urin, feses dan lain-lain.
2. Concentration sudies : bila suatu radiofarmaka diberikan pada seorang
pasien kemudian diukur berapa persen yang ditangkap suatu organ, misal
Thyroid Up-take.
3. Dinamic function study : Suatu radiofarmaka dipelajari saat mencapai
atau meninggalakan suatu organ. Misal ; pada pemeriksaan cerebral blood
flow, renogram.
4. Organ system atau pool Visualization : Setalah radiofarmaka
dimasukkan ke dalam tubuh pasien maka distribusinya akan tersaji dalam
bentuk gambar. Misalnya pada pemeriksaan scanning otak, cardiac blood
pool , Bone scan.
5. In vitro test
6. Radiofarmaka dicampur dengan sampel penderita, misalnya pada pemeriksaan T3 x T4.
Ada 2 macam gambaran yang diperoleh dari hasil scanning :
1. Hot area, artinya daerah abnormal yang menunjukkan kenaikan up take
(distribusi yang berlebihan) radiofarmaka. Contoh ; bone scanning dan
brain scanning.
2. Pada keadaan dimana radiofarmaka diikat oleh organ tubuh yang normal
sehingga pada keadaan abnormal timbul penurunan aktivitas atau cold
area. Contoh : scanning liver, thyroid.
Instrumentasi Kedokteran Nuklir
Berikut ini komponen pokok kedokteran nuklir yaitu :
1. Stationary Probe : Baiasanya untuk pemeriksaan : test konsentrasi
pada organ maupun dinamic test. Data yang diperoleh, berupa count per
unit waktu, atau waktu yang dibutuhkan untuk sejumlah count tertentu.
2. Well Counter : Prinsip kerja sama dengan stationary probe yaitu
berupa count per waktu tetapi hanya dikhususkan untuk counting dari
sampel berupa urine, darah feces dan lain-lain (in vitro test).
3. Scanner : Menghasilkan gambar 2 dimensi dari distribusi radiofarmaka
dalam suatu organ. Dapat juga untuk menilai pada pemeriksaan-pemeriksaan
concentration, delution, excretion dan absorbtion. Scanning
berupagerakan maju-mundur melalui daerah yang diinginkan sehingga
menghasilkan gambar yang tersusun dari garis-garis atau titik-titik.
Ukuran dan jumlah kristal detektor NaI menetukan hasil dan kecepatan
scanner. Semakin banyak detektor atau semakin besar ukuran kristalnya
hasil semakin baik dan waktu scanning makin cepat.
4. Camera : Yaitu alat pencitraan yang dapat menyajikan gambar tanpa menggerakkan detektor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar